Menyambut Fajar Kemenangan Setelah Ramadhan
Bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan segera berakhir, meninggalkan sedikit rasa haru di hati. Namun, di balik perpisahan itu, terbitlah fajar kemenangan, Hari Raya Idul Fitri, yang dinanti dengan suka cita. Momen istimewa ini bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga kesempatan emas untuk meraih pahala tambahan dengan mengamalkan adab dan sunnah yang dianjurkan. Mari kita persiapkan diri menyambut Idul Fitri dengan cara terbaik, sesuai tuntunan, agar keberkahan senantiasa menyertai.
Berikut adalah beberapa amalan dan adab penting yang bisa kita lakukan sejak malam 1 Syawal hingga pagi hari raya:
1. Menggemakan Takbir: Syukur Menyambut Kemenangan
Setelah pemerintah secara resmi mengumumkan datangnya 1 Syawal, sebagai tanda berakhirnya Ramadhan dan tibanya Idul Fitri, kita dianjurkan untuk mengumandangkan takbir. Takbiran ini adalah wujud syukur kita atas petunjuk dan nikmat yang Allah berikan, sebagaimana firman-Nya:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (Ramadhan) dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur,” (QS. Al-Baqarah: 185).
Dalam kitab Fathul Qarib, dijelaskan ada dua jenis takbir Idul Fitri:
- Takbir Muqayyad: Takbir yang diucapkan setelah selesai melaksanakan shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah.
- Takbir Mursal: Takbir yang tidak terikat waktu setelah shalat. Artinya, bisa dikumandangkan kapan saja dan di mana saja – di rumah, di jalan, masjid, pasar, dan tempat lainnya – untuk menyemarakkan suasana Idul Fitri.
Kesunnahan mengumandangkan takbir Idul Fitri ini dimulai sejak matahari terbenam di malam 1 Syawal hingga imam shalat Id memulai takbiratul ihram (bagi yang shalat berjamaah) atau hingga seseorang memulai takbiratul ihramnya sendiri (bagi yang shalat sendirian).
Salah satu lafal takbir yang dianjurkan, seperti dijelaskan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj (juz 3, hlm. 54), adalah:
اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللّٰهُ اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اللّٰهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللّٰهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللّٰهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللّٰهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
2. Mengucapkan Selamat Hari Raya (Tahniah)
Selain bertakbir, tradisi saling mengucapkan selamat Idul Fitri sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Ungkapan seperti “Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin” sering kita dengar atau kirimkan, baik secara langsung saat bersalaman maupun melalui pesan singkat atau media sosial. Kadang, ucapan ini dibumbui pantun jenaka atau kalimat penuh haru.
Hal ini diperbolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan cara yang baik dan tidak melanggar syariat (misalnya, bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram). Tujuannya adalah untuk mempererat tali kasih sayang dan menunjukkan kebahagiaan di hari raya. Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dalam Hasyiyatusy Syarwani (juz 3, hlm. 56) menyebutkan:
وَقَدْ يُقَالُ لَا مَانِعَ مِنْهُ أَيْضًا إذَا جَرَتْ الْعَادَةُ بِذَلِكَ لِمَا ذَكَرَهُ مِنْ أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ التَّوَدُّدُ وَإِظْهَارُ السُّرُورِ وَيُؤَيِّدُهُ نَدْبُ التَّكْبِيرِ فِي لَيْلَةِ الْعِيدِ
Artinya: “Terkadang diucapkan, tidak ada yang menghalangi hal tersebut apabila kebiasaan terlaku demikian, karena alasan yang telah disampaikan bahwa tujuan dari tahniah adalah saling mengasihi dan menampakkan kebahagiaan. Sudut pandang ini dikuatkan dengan kesunnahan takbir di hari raya.”
3. Menghidupkan Malam Idul Fitri dengan Ibadah
Malam Hari Raya adalah malam yang istimewa. Kita dianjurkan untuk menghidupkannya dengan berbagai bentuk ibadah, seperti shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, bershalawat, berdzikir, berdoa, atau membaca kitab-kitab agama. Anjuran ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW:
مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَيْ الْعِيدِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ
Artinya: “Barangsiapa menghidupi dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), hatinya tidak akan mati di hari matinya beberapa hati,” (HR. Ad-Daraquthni).
Meskipun hadits ini dikategorikan lemah (dhaif), para ulama memperbolehkannya untuk diamalkan dalam konteks fadlailul a’mal (keutamaan amal), karena tidak berkaitan langsung dengan hukum halal-haram atau akidah. Menghidupkan malam Idul Fitri ini bisa tercapai dengan mengisi sebagian besar malam tersebut dengan ibadah.
4. Persiapan Pagi Hari Raya: Mandi, Berhias, dan Makan
Di pagi hari Idul Fitri, amalan utamanya adalah melaksanakan Shalat Id. Namun, sebelum berangkat, ada beberapa sunnah yang dianjurkan untuk menyempurnakan persiapan kita dan menyebarkan syiar kebahagiaan:
- Mandi Sunnah Idul Fitri: Waktu mandi sunnah ini dimulai sejak tengah malam 1 Syawal hingga matahari terbenam di hari raya. Waktu paling utama adalah setelah terbit fajar sebelum berangkat shalat Id. (Lihat: Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarh al-Khathib, juz 1, hal. 252). Niat mandinya adalah:
نَوَيْتُ غُسْلَ عِيْدِ الْفِطْرِ سُنَّةً لِلهِ تَعَالَى
Artinya: “Aku niat mandi Idul Fitri, sunnah karena Allah Ta’ala.” - Berhias Diri: Sunnah ini meliputi membersihkan badan, memotong kuku dan rambut yang panjang, memakai wangi-wangian, serta mengenakan pakaian terbaik yang kita miliki (tentunya yang menutup aurat dan sesuai syariat).
- Makan Sebelum Shalat Id: Berbeda dengan Idul Adha, pada Idul Fitri kita disunnahkan untuk makan sedikit sebelum berangkat shalat Id. Ini sebagai penanda bahwa hari itu kita sudah tidak lagi berpuasa.
5. Perjalanan Menuju Shalat Id: Memilih Rute Berbeda
Satu lagi sunnah yang mungkin sering terlewat adalah memilih jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari tempat shalat Idul Fitri. Jika memungkinkan, usahakan melalui rute yang tidak sama.
Hikmah di baliknya, sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin, adalah untuk memperbanyak langkah (dan pahala) menuju tempat ibadah, serta agar lebih banyak tempat yang menjadi saksi amal ibadah kita. Anjuran ini juga berlaku untuk perjalanan ibadah lainnya seperti haji atau menjenguk orang sakit. (Lihat: Syekh Khathib al-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz 1, hal. 591).
6. Puncak Kesempurnaan: Saling Memaafkan
Setelah sebulan penuh beribadah puasa, menahan diri, dan diakhiri dengan menunaikan zakat fitrah untuk menyucikan diri, Idul Fitri menjadi momen penyempurna dengan saling memaafkan. Mengulurkan tangan untuk meminta maaf dan melapangkan dada untuk memberi maaf kepada sesama adalah inti dari kembali ke fitrah (kesucian). Dengan harapan, segala khilaf dan dosa kita, baik kepada Allah maupun sesama manusia, dapat terampuni.
Semoga Allah SWT menganugerahkan kita umur panjang yang berkah, kesehatan, dan kesempatan untuk dapat menyelesaikan ibadah Ramadhan tahun ini dengan sebaik-baiknya. Dan yang terpenting, semoga kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan-Ramadhan di tahun-tahun mendatang dalam keadaan iman dan Islam. Amin Ya Rabbal Alamin.