Belakangan ini, diskursus publik dihangatkan oleh isu keterlibatan figur publik yang telah bergelar haji dalam aktivitas yang dipertanyakan secara moral, seperti dugaan pengelolaan judi online. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar di benak banyak orang: Apakah menunaikan ibadah haji secara otomatis menjamin seseorang akan terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat?
Komentar seperti, “Beliau kan sudah haji, tidak mungkin terlibat bisnis haram,” sering terdengar. Namun, apakah status “haji” memang benteng mutlak dari godaan kemungkaran? Mari kita telaah pertanyaan ini dari sudut pandang ajaran Islam.
Kedudukan Haji dalam Islam dan Kewajibannya
Ibadah haji menempati posisi yang sangat agung dalam Islam, yakni sebagai rukun Islam yang kelima. Ia menjadi simbol puncak kesempurnaan pengabdian seorang hamba kepada Allah SWT. Mengenai kewajiban haji, Allah SWT berfirman:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًاۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya: “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam,” (QS. Ali Imran: 97).
Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, mengutip hadits riwayat Imam Muslim yang menjelaskan bahwa kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup bagi yang mampu (istitha’ah). Kemampuan ini mencakup kesiapan fisik, finansial untuk perjalanan dan pelaksanaan haji, serta kecukupan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan. Kewajiban ini tidak bersifat mendesak seketika, melainkan menunggu terpenuhinya syarat kemampuan tersebut.
Janji Surga dan Ampunan Dosa bagi Haji Mabrur
Setiap Muslim yang melaksanakan haji tentu mendambakan keutamaannya, terutama haji mabrur. Haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT, yang ditandai dengan perubahan positif pada diri pelakunya setelah kembali ke tanah air. Keutamaan terbesar dari haji mabrur adalah balasan surga, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah:
العُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَآءٌ إلَّا الْجَنَّةُ
Artinya: “(Pelaksanaan) umrah ke umrah (berikutnya) adalah pelebur (dosa) di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasan (yang pantas) baginya selain surga.” (HR. Bukhari).
Jaminan surga ini diberikan karena Allah SWT menjanjikan ampunan total atas dosa-dosa bagi mereka yang berhasil meraih haji mabrur. Logikanya, seseorang yang dosanya telah diampuni dan merasakan manisnya kedekatan dengan Allah selama haji, akan cenderung lebih berhati-hati dalam bertindak, menjauhi larangan-Nya, meningkatkan kualitas ibadahnya, dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Dari perspektif ini, tampak sulit membayangkan seorang yang hajinya mabrur akan kembali terjerumus dalam kemungkaran besar seperti perjudian.
Syarat Mencapai Haji Mabrur: Bukan Sekadar Berangkat dan Pulang
Namun, meraih predikat haji mabrur bukanlah hal yang otomatis didapatkan hanya dengan berangkat ke Tanah Suci dan melaksanakan rangkaian ritual. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan beberapa syarat penting untuk mencapai kemabruran haji. Di antaranya yang krusial adalah:
- Kehalalan Harta: Biaya yang digunakan untuk haji harus berasal dari sumber yang halal dan bersih dari syubhat.
- Fokus pada Ibadah: Hati dan pikiran harus tercurah sepenuhnya untuk berdzikir, beribadah, dan merenungkan keagungan Allah SWT, bukan disibukkan dengan urusan duniawi seperti bisnis atau sekadar rekreasi.
Imam al-Ghazali bahkan menukil sebuah riwayat yang menggambarkan kondisi di akhir zaman:
إِذَا كَانَ آخِرُ الزَّمَانِ خَرَجَ النَّاسُ إِلَى الْحَجِّ أَرْبَعَةَ أَصْنَافٍ سَلَاطِيْنُهُمْ لِلنُّزْهَةِ وَأَغْنِيَاؤُهُمْ لِلتِّجَارَةِ وَفُقَرَاؤُهُمْ لِلْمَسْأَلَةِ وَقُرَّاؤُهُمْ لِلسُّمْعَةِ
Artinya: “Apabila telah datang akhir zaman, manusia yang keluar untuk melaksanakan haji akan terbagi menjadi empat golongan: para pemimpin mereka (berhaji) untuk rekreasi, orang-orang kaya mereka (berhaji) untuk berdagang, orang-orang miskin mereka (berhaji) untuk meminta-minta (mencari solusi masalah ekonomi), dan para ahli baca Al-Qur’an mereka (berhaji) untuk mencari popularitas (sum’ah).”
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan-tujuan duniawi ini dapat menghalangi seseorang dari mendapatkan keutamaan haji yang sesungguhnya. Niat yang tidak lurus, apalagi jika murni untuk bisnis (misalnya, membadalkan haji orang lain demi upah semata), dapat merusak nilai ibadah dan menjadikannya aktivitas mencari dunia berkedok amal akhirat.
Realita: Mengapa Ada yang Tetap Berbuat Maksiat Setelah Haji?
Jika syarat-syarat kemabruran haji, terutama terkait keikhlasan niat dan kehalalan bekal, tidak terpenuhi, maka jaminan surga dan ampunan dosa sebagaimana dijanjikan bagi haji mabrur pun menjadi tidak pasti. Ketiadaan kepastian ampunan inilah yang membuka kemungkinan mengapa seseorang yang telah menyandang gelar haji masih bisa kembali melakukan perbuatan maksiat atau kemungkaran.
Oleh karena itu, bukanlah hal yang mustahil jika kita menemukan orang yang sudah berhaji namun perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai haji. Mereka mungkin belum berhasil meraih kemabruran, sehingga tidak ada perubahan signifikan dalam ibadahnya, hubungannya dengan Allah, bahkan mungkin menjadi sombong dengan status hajinya. Dalam kondisi ini, terjerumus kembali dalam lingkaran dosa seperti judi, korupsi, atau kemungkaran lainnya menjadi sebuah kemungkinan yang nyata.
Muhammad bin Abdullah al-Jurdani dalam al-Jawahirul Lu’luiyah menjelaskan tingkatan ibadah: ada yang sekadar formalitas menggugurkan kewajiban, ada yang mencapai tingkat mukasyafah, dan ada yang beribadah dengan kesadaran penuh akan pengawasan Allah (muraqabah).
Hikmah Haji: Latihan Merasa Diawasi Allah (Muraqabah)
Pada hakikatnya, ibadah haji adalah sebuah madrasah (sekolah) spiritual yang intensif. Salah satu pelajaran terpentingnya adalah melatih diri untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT (muraqabah). Ketika seorang jamaah haji terbiasa merasa dalam pengawasan Allah selama di Tanah Suci, harapannya adalah kesadaran ini akan terus terbawa dalam kehidupan sehari-hari setelah kembali.
Kesadaran diawasi Allah inilah yang seharusnya menjadi rem kuat untuk mencegah diri dari perbuatan dosa dan mendorong pada kebaikan. Inilah transformasi sejati yang diharapkan dari ibadah haji.
Status Haji Bukan Jaminan Mutlak
Poin pentingnya bahwa status atau gelar haji bukanlah jaminan otomatis bahwa seseorang akan menjadi Muslim yang taat dan terbebas dari dosa secara permanen. Kemabruran haji adalah kunci utamanya, yang sangat bergantung pada faktor-faktor seperti:
- Kehalalan sumber biaya haji.
- Kesempurnaan pelaksanaan rukun dan wajib haji.
- Keikhlasan niat semata-mata karena Allah SWT.
- Kemampuan menjaga hati dan pikiran agar fokus pada ibadah.
- Adanya perubahan positif dalam diri setelah haji.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka predikat mabrur sulit diraih, dan jaminan ampunan serta perubahan perilaku pun tidak didapatkan. Ibadah haji sejatinya adalah momentum besar untuk perbaikan diri, namun apakah momentum itu berhasil dimanfaatkan atau tidak, kembali kepada kesungguhan dan keikhlasan masing-masing individu.
Wallahu a’lam bish-shawab.