Syaikh Abu Hasan As-Syadzili (SS: YT Elfiq Chanel)
Syaikh Abu Hasan As-Syadzili (SS: YT Elfiq Chanel)

Tasawuf dan Kehidupan Berkualitas Tinggi: Perspektif Imam Abu Hasan Asy-Syadzili

Pelajari bagaimana ajaran Imam Abu Hasan Asy-Syadzili menyelaraskan tasawuf (Sufisme) dengan kehidupan duniawi yang berkualitas tinggi. Temukan keseimbangan spiritual dan material dalam Islam.

Pendahuluan:
Mengkontekstualisasikan Ulang Tasawuf dalam Pencarian Hidup Bermakna di Era Modern

Tasawuf, yang sering disebut sebagai Sufisme, merepresentasikan dimensi batin dan mistis dalam Islam. Meskipun merupakan bagian integral dari tradisi Islam, tasawuf sering kali mengalami misinterpretasi dalam diskusi kontemporer, terkadang dipandang melalui lensa sempit yang mengabaikan sifatnya yang multifaset. Kesalahpahaman umum adalah bahwa tasawuf mengharuskan kehidupan asketisme yang ketat dan keterikatan sepenuhnya dari urusan duniawi, menyiratkan penolakan terhadap kenyamanan dan pencapaian yang diasosiasikan banyak orang dengan keberadaan yang memuaskan. Sebaliknya, gagasan tentang “Kehidupan Berkualitas Tinggi” dalam konteks modern sering kali disamakan dengan kemewahan materi dan gaya hidup mewah. Namun, pemahaman yang lebih holistik tentang “Kehidupan Berkualitas Tinggi” dapat mencakup pencarian kualitas hidup yang lebih luas yang mengintegrasikan pertumbuhan spiritual, perkembangan intelektual, dan kesejahteraan materi. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi perspektif Imam Abu Hasan Asy-Syadzili, tokoh penting dalam tasawuf, tentang hubungan antara tasawuf dan pemahaman “Kehidupan Berkualitas Tinggi” yang lebih komprehensif ini.Tasawuf, yang sering disebut sebagai Sufisme, merepresentasikan dimensi batin dan mistis dalam Islam. Meskipun merupakan bagian integral dari tradisi Islam, tasawuf sering kali mengalami misinterpretasi dalam diskusi kontemporer, terkadang dipandang melalui lensa sempit yang mengabaikan sifatnya yang multifaset. Kesalahpahaman umum adalah bahwa tasawuf mengharuskan kehidupan asketisme yang ketat dan keterikatan sepenuhnya dari urusan duniawi, menyiratkan penolakan terhadap kenyamanan dan pencapaian yang diasosiasikan banyak orang dengan keberadaan yang memuaskan. Sebaliknya, gagasan tentang “Kehidupan Berkualitas Tinggi” dalam konteks modern sering kali disamakan dengan kemewahan materi dan gaya hidup mewah. Namun, pemahaman yang lebih holistik tentang “Kehidupan Berkualitas Tinggi” dapat mencakup pencarian kualitas hidup yang lebih luas yang mengintegrasikan pertumbuhan spiritual, perkembangan intelektual, dan kesejahteraan materi. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi perspektif Imam Abu Hasan Asy-Syadzili, tokoh penting dalam tasawuf, tentang hubungan antara tasawuf dan pemahaman “Kehidupan Berkualitas Tinggi” yang lebih komprehensif ini.

Imam Abu Hasan Asy-Syadzili (1196-1258 M) berdiri sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah mistisisme Islam, terkenal sebagai pendiri tarekat Syadziliyah yang sangat berpengaruh. Ajaran dan jalan yang beliau dirikan telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada tasawuf, membentuk kehidupan spiritual jutaan orang selama berabad-abad. Analisis ini berpendapat bahwa Imam Asy-Syadzili mengartikulasikan jalan Sufi yang tidak menuntut pengingkaran terhadap kehidupan duniawi yang baik dan memuaskan. Sebaliknya, ajarannya memberikan kerangka kerja untuk mengintegrasikan kehidupan seperti itu dengan realisasi spiritual yang mendalam, dicapai melalui menumbuhkan rasa syukur dan dengan tekun mematuhi prinsip-prinsip dasar Islam. Pendekatan ini menawarkan perspektif unik tentang bagaimana individu dapat menavigasi kompleksitas dunia sambil secara bersamaan mengejar keunggulan spiritual. Meningkatnya minat pada spiritualitas di samping keinginan untuk kehidupan duniawi yang memuaskan dalam masyarakat modern menggarisbawahi pentingnya memahami bagaimana ranah yang tampaknya berbeda ini dapat diharmoniskan dalam tradisi Islam. Kesalahpahaman tentang tasawuf mungkin secara tidak sengaja menghalangi individu untuk mengeksplorasi potensinya dalam memperkaya kehidupan mereka, sehingga memerlukan evaluasi ulang prinsip-prinsip intinya melalui lensa tokoh-tokoh seperti Asy-Syadzili. Dengan meneliti perspektif beliau, artikel ini berusaha menawarkan pendekatan spiritualitas yang seimbang dan praktis yang sesuai dengan aspirasi kontemporer untuk kehidupan yang bermakna dan berkualitas tinggi.

Imam Abu Hasan Asy-Syadzili:
Kehidupan, Pengaruh, dan Lahirnya Tarekat Syadziliyah

Abu al-Hasan ʿAli ibn ʿAbd Allah al-Syadzili lahir pada tahun 1196 M (592/593 H) di dekat Ceuta, Maroko utara. Beliau berasal dari garis keturunan Sharif, menelusuri leluhurnya dari jalur ayah ke suku Arab Hasyim melalui Idrisiyah dan dari jalur ibu ke keluarga kerajaan suku Berber Ghomara, menunjukkan warisan yang terhormat. Bahkan di masa mudanya, Asy-Syadzili dikenal karena kecerdasannya yang luar biasa dan kecenderungannya terhadap asketisme, sering menghabiskan waktu yang lama di padang gurun untuk beribadah dan berzikir. Pendidikan awalnya berlangsung di Fez, di mana beliau juga mendapatkan pengakuan atas kemampuannya yang luar biasa dalam berargumentasi hukum dengan para ulama agama pada masanya. Tahun-tahun formatifnya meletakkan dasar bagi kepemimpinan spiritualnya di kemudian hari dan perkembangan pemikiran Sufinya yang unik.

Dalam perjalanan spiritualnya, Asy-Syadzili bertemu dengan beberapa tokoh berpengaruh yang sangat membentuk pemahamannya tentang tasawuf. Selama perjalanan ke Irak, beliau bertemu dengan seorang guru Sufi bernama al-Wasiti, yang menasihatinya untuk mencari pembimbing spiritual sejatinya di Maghrib, wilayah asalnya. Sekembalinya ke Afrika Utara, beliau bertemu dengan ʿAbd al-Salam Ibn Mashish (w. 1228 M) di dekat Tétouan, sebuah pertemuan yang terbukti sangat penting. Ibn Mashish, yang dihormati sebagai “Kutub Barat,” memberikan pengaruh yang signifikan pada kehidupan dan ajaran Asy-Syadzili. Empat tema fundamental menjadi ciri bimbingan Ibn Mashish kepada Asy-Syadzili: Keesaan Wujud (wahdat al-wujud), rasa takut yang mendalam kepada Allah dan hukuman-Nya (khawfu billah), keyakinan akan kemahadirat Allah dan perlunya melihat Wajah-Nya dalam seluruh ciptaan, dan konsep bahwa hanya melalui tenggelam dalam Samudra Keesaan (awnu fi bahri al-wahadati) seorang pencari dapat melampaui keberadaan dan sifat-sifatnya sendiri untuk menyatu dengan Allah dan Sifat-Sifat-Nya. Asy-Syadzili sendiri menceritakan pengalaman transformatifnya dengan Ibn Mashish, mengakui dampak mendalam dari wawasan spiritual gurunya. Bimbingan yang diterima dari para mentor kunci ini memainkan peran penting dalam membentuk pendekatan khas Asy-Syadzili terhadap tasawuf.

Tarekat Syadziliyah berawal dari pendirian zawiyah pertama Asy-Syadzili, sebuah pondok Sufi, di Tunis sekitar tahun 1227-1228 M (625 H). Kelompok pengikut awalnya di Tunis berjumlah empat puluh orang dan dikenal sebagai “empat puluh sahabat” (al-awliya’ al-arba’un). Menghadapi beberapa oposisi dari para teolog mapan di Tunisia, Asy-Syadzili kemudian pindah ke Alexandria, Mesir, sekitar tahun 1244 M (642 H), setelah mendapatkan penglihatan dalam mimpi yang signifikan. Di Alexandria, ajarannya berkembang pesat, menarik berbagai macam pengikut, termasuk para ulama agama, pejabat istana, dan individu dari berbagai lapisan masyarakat. Asy-Syadzili menekankan bahwa para pengikutnya harus menjalani kehidupan kontemplasi dan mengingat Allah sambil secara aktif terlibat dalam aktivitas sehari-hari mereka di dunia. Pendekatan ini berbeda dari beberapa tarekat Sufi yang menganjurkan gaya hidup yang lebih terpencil dan asketis.

Di tahun-tahun terakhirnya, Asy-Syadzili dilaporkan menjadi buta pada tahun 1248 M (646 H) tetapi tetap berpartisipasi dalam Pertempuran Mansura melawan Perang Salib Ketujuh, menunjukkan keterlibatannya yang berkelanjutan dalam urusan komunitasnya. Tak lama sebelum memulai ziarah terakhirnya ke Mekah, beliau jatuh sakit dan meninggal dunia pada tahun 1258 M (656 H) di Humaithara, Mesir, di mana beliau kemudian dimakamkan. Sebelum wafat, Asy-Syadzili menunjuk Abu’l Abbas al-Mursi sebagai penggantinya dalam memimpin tarekat Syadziliyah. Setelah wafatnya, tarekat Syadziliyah mengalami pertumbuhan yang signifikan dan menyebar ke seluruh Afrika Utara dan sekitarnya, akhirnya diakui sebagai salah satu dari empat tarekat Sufi tertua dan paling berpengaruh di dunia Islam. Warisannya terus menginspirasi melalui ajaran dan doa-doa yang beliau susun, termasuk “Wirid Laut” (Hizb al-Bahr) yang terkenal, yang tetap populer di banyak kalangan spiritual hingga saat ini. Kehidupan Asy-Syadzili mencerminkan perjalanan transformatif dari kecenderungan asketis awal menuju bentuk spiritualitas yang lebih terintegrasi, kemungkinan dibentuk oleh pengaruh mendalam dari para mentornya dan interaksinya dengan berbagai komunitas. Keberhasilan Syadziliyah dalam menarik berbagai macam pengikut menunjukkan bahwa ajaran Asy-Syadzili sangat beresonansi dengan individu yang mencari kedalaman spiritual tanpa harus meninggalkan keterlibatan mereka dengan dunia.

Ajaran Khas Pemikiran Sufi Asy-Syadzili:
Menjembatani Materi dan Spiritual

Salah satu aspek paling khas dari ajaran mistik Abu Hasan al-Syadzili adalah perspektifnya yang moderat dan terbuka terhadap kehidupan duniawi. Meskipun beliau menekankan bahwa seorang praktisi tasawuf tidak boleh menyimpan kecintaan yang berlebihan terhadap urusan duniawi (hubb al-dunya), beliau tidak menganjurkan penolakan atau kebencian sepenuhnya terhadap aspek-aspek seperti kekayaan dan kedudukan sosial. Menurut al-Syadzili, perhatian utama seorang Sufi adalah dengan tekun mengamati persyaratan syariat (hukum Islam) sambil secara bersamaan menumbuhkan pengenalan yang mendalam akan Tuhan di dalam hati mereka (ma’rifat Allah). Perspektif ini bertentangan dengan gagasan yang lazim di beberapa kalangan Sufi bahwa kemiskinan adalah satu-satunya atau jalan paling langsung untuk mencapai kedekatan dengan Allah. Khususnya, Asy-Syadzili sendiri dikenal suka mengenakan pakaian bagus dan menunggangi hewan-hewan mulia, namun beliau secara konsisten mempertahankan sikap rendah hati dan kesadaran akan ketergantungannya kepada Tuhan. Contoh pribadi ini menggarisbawahi keyakinannya bahwa penampilan luar tidak selalu mencerminkan keadaan spiritual seseorang.

Asy-Syadzili memulai tasawuf ‘amali, pendekatan praktis terhadap Sufisme yang selaras dengan prinsip-prinsip Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tradisi Sunni arus utama. Penekanan pada aplikasi praktis ini berakar pada kepatuhan yang kuat terhadap syariat yang bersumber dari sumber-sumber fundamental Islam: Al-Qur’an dan Hadis (ucapan dan tindakan Nabi Muhammad). Tarekat Syadziliyah kemudian mendapatkan reputasi karena sifatnya yang skolastik dan kepatuhannya yang ketat terhadap prinsip-prinsip hukum Islam, menunjukkan komitmen terhadap realisasi spiritual batin dan ketaatan agama lahiriah.

Prinsip utama ajaran Asy-Syadzili adalah pentingnya rasa syukur (shukr). Bahkan, jalan Syadzili sering digambarkan dimulai dan diakhiri dengan rasa syukur. Tarekat ini terkadang disebut sebagai Tariqathu Shukr, yang berarti “jalan syukur”. Asy-Syadzili mendorong para pengikutnya untuk menghargai dan menikmati hal-hal baik yang diperbolehkan dalam hidup (halal) sambil mengungkapkan rasa terima kasih yang tulus kepada Allah karena telah memberikannya. Pendirian ini berbeda dari beberapa tarekat Sufi lainnya yang menekankan penekanan keinginan duniawi sebagai sarana utama kemajuan spiritual. Sebuah perkataan terkenal yang dikaitkan dengan Asy-Syadzili merangkum filosofi ini: “Makanlah makanan terbaik, minumlah minuman paling lezat, tidurlah di ranjang paling empuk, dan kenakanlah pakaian terbaik, karena jika salah satu dari kalian melakukan ini dan bersyukur kepada Allah…”. Ini menyoroti keyakinannya bahwa menikmati berkah Tuhan dengan rasa syukur adalah bentuk ibadah itu sendiri.

Sementara beberapa jalan Sufi menekankan latihan fisik yang ketat (riyadat al-abdan) sebagai sarana pemurnian spiritual, Asy-Syadzili lebih menekankan pada “kondisi hati” (riyadat al-qulub). Beliau berfokus pada penumbuhan keadaan batin seperti kegembiraan (farh), kepuasan (rida), dan rasa syukur yang terus-menerus (shukr) atas karunia Allah yang tak terhitung jumlahnya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa transformasi batin dan orientasi hati yang positif lebih penting daripada tampilan kesulitan lahiriah dalam mengejar pertumbuhan spiritual.

Lebih lanjut, ajaran Asy-Syadzili menganjurkan integrasi yang bermakna antara keterlibatan duniawi dengan praktik spiritual. Beliau menyatakan ketidaksetujuannya yang jelas terhadap individu yang mampu bekerja namun tetap menganggur, menganggap bekerja dan mencari nafkah yang halal sebagai bentuk ibadah. Beliau percaya bahwa individu yang jujur dan saleh tidak boleh mengasingkan diri dari masyarakat tetapi harus secara aktif berkontribusi pada kesejahteraannya. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan keseimbangan di mana individu dapat memiliki kekayaan dan terlibat dalam aktivitas duniawi tanpa membiarkan hal-hal ini berakar di hati mereka, sehingga mempertahankan kemurnian spiritual. Pemikiran Sufi Asy-Syadzili merepresentasikan langkah signifikan menuju pendekatan spiritualitas yang lebih terintegrasi, di mana kehidupan duniawi tidak selalu menjadi penghalang tetapi dapat menjadi jalan menuju hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan melalui rasa syukur, perilaku etis, dan partisipasi aktif dalam masyarakat. Penekanannya pada syariat dan ma’rifat Allah menggarisbawahi visi holistik di mana kepatuhan lahiriah terhadap hukum Islam dan realisasi spiritual batin terjalin secara intrinsik dan sama-sama vital. Pendekatan moderat dan praktis ini kemungkinan berkontribusi pada daya tarik luas tarekat Syadziliyah dan kemampuannya untuk menarik pengikut dari berbagai lapisan sosial, termasuk mereka yang aktif terlibat dalam urusan dunia.

Mendefinisikan “Kehidupan Berkualitas Tinggi” dalam Kerangka Islam:
Melampaui Materialisme

Untuk memahami perspektif Imam Asy-Syadzili tentang hubungan antara tasawuf dan “Kehidupan Berkualitas Tinggi,” penting untuk terlebih dahulu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “Kehidupan Berkualitas Tinggi” dalam kerangka Islam, bergerak melampaui interpretasi yang murni materialistis. Sementara masyarakat kontemporer sering menyamakan “Kehidupan Berkualitas Tinggi” dengan konsumerisme yang berlebihan, gaya hidup mewah, dan pengejaran tanpa henti terhadap harta benda, perspektif Islam menawarkan pemahaman yang lebih bernuansa yang mencakup kesejahteraan spiritual, etika, dan komunal.

Prinsip fundamental dalam Islam adalah pentingnya keseimbangan (mizan) dalam semua aspek kehidupan, termasuk materi dan spiritual. Al-Qur’an sendiri menekankan keseimbangan ini, menyatakan, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia” (QS. Al-Qashash: 77). Ayat ini menyoroti keharusan untuk berusaha meraih pahala akhirat sambil juga mengakui dan memenuhi tanggung jawab seseorang serta menikmati berkah duniawi yang diperbolehkan. Islam mendorong individu untuk menyeimbangkan hak-hak mereka terhadap Pencipta mereka, terhadap diri mereka sendiri, dan terhadap orang lain, mengakui bahwa mengabaikan salah satu aspek ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam kehidupan seseorang.

Konsep zuhud dalam Islam, yang sering diterjemahkan sebagai asketisme, perlu diinterpretasikan ulang dalam konteks ini. Daripada menandakan penolakan sepenuhnya terhadap harta duniawi, zuhud dalam Islam terutama merujuk pada keterpisahan hati dari keterikatan yang berlebihan pada harta benda tersebut. Ini berarti lebih mempercayai Allah daripada kekayaan atau sarana seseorang. Seseorang yang mempraktikkan zuhud tidak terlalu gembira atas keuntungan materi maupun terlalu sedih atas kerugian. Sebaliknya, mereka menggunakan kekayaan dengan cara yang positif dan bertanggung jawab, tetap bersyukur kepada Allah atas segala rezeki. Oleh karena itu, “Kehidupan Berkualitas Tinggi” dari sudut pandang Islam tidak harus mengecualikan kepemilikan kekayaan tetapi lebih menekankan pada keterikatan yang sehat dan fokus pada penggunaan berkah tersebut sesuai dengan bimbingan ilahi.

Lebih lanjut, kualitas hidup yang tinggi dalam Islam mencakup kepemilikan nilai-nilai moral yang luhur dan berjuang untuk keunggulan dalam semua usaha. Ini melibatkan menjalani kehidupan yang ditandai dengan kesucian, kesederhanaan, dan integritas. Pada akhirnya, “Kehidupan Berkualitas Tinggi” yang sejati dalam Islam mencakup menemukan kepuasan dan kedamaian batin melalui hubungan yang kuat dan konsisten dengan Tuhan. Berkah duniawi dipandang sebagai amanah dari Tuhan, untuk digunakan secara bertanggung jawab dan tidak berlebihan. Definisi yang lebih luas ini menggarisbawahi bahwa kehidupan yang memuaskan dalam Islam melampaui sekadar akumulasi materi untuk mencakup pemenuhan spiritual, perilaku etis, dan rasa tujuan yang selaras dengan kehendak ilahi. Pendekatan yang seimbang terhadap kehidupan duniawi dan spiritual ini menumbuhkan kedamaian dan kepuasan batin, yang dapat dianggap sebagai bentuk “Kehidupan Berkualitas Tinggi” yang paling sejati dari perspektif Islam. Pemahaman yang lebih komprehensif ini memungkinkan integrasi prinsip-prinsip Sufi ke dalam kehidupan sehari-hari, terlepas dari keadaan materi seseorang.

Prinsip-Prinsip “Kehidupan Berkualitas Tinggi” dalam Islam vs. Pandangan Materialistis

AspekPandangan MaterialistisPandangan Islam
DefinisiKekayaan dan kemewahan, akumulasi harta bendaKesejahteraan holistik: keseimbangan spiritual, etika, dan materi
FokusKenyamanan materi dan kesenangan indrawiHubungan dengan Tuhan, keunggulan moral, dan penggunaan berkah yang bertanggung jawab
Peran KekayaanTujuan akhir, ukuran kesuksesanSarana untuk tujuan, ujian, untuk digunakan secara bertanggung jawab dan dengan syukur
Tujuan UtamaKepuasan pribadi dan pencapaian duniawiPemenuhan spiritual, meraih ridha Allah, dan keberhasilan di Akhirat

Sintesis Asy-Syadzili:
Mendamaikan Tasawuf dan Kehidupan Berkualitas Tinggi

Ajaran Imam Abu Hasan Asy-Syadzili menawarkan sintesis yang mendalam antara prinsip-prinsip tasawuf dan pengejaran kehidupan berkualitas tinggi, menunjukkan bahwa keduanya tidak saling eksklusif tetapi justru dapat diintegrasikan secara harmonis. Kehidupan Asy-Syadzili sendiri dan prinsip-prinsip tarekat Syadziliyah mengilustrasikan bahwa Sufisme tidak harus menuntut penolakan terhadap hal-hal baik dalam hidup. Sebaliknya, ia menyediakan kerangka kerja untuk menikmati berkah-berkah ini dengan cara yang menumbuhkan pertumbuhan spiritual dan mendekatkan seseorang kepada Allah. Contoh pribadi beliau yang mengenakan pakaian bagus dan menunggangi hewan-hewan mulia, ditambah dengan wawasan spiritualnya yang mendalam, menunjukkan pendekatan yang seimbang ini.

Elemen sentral dalam sintesis Asy-Syadzili adalah konsep rasa syukur (shukr). Beliau menekankan bahwa rasa terima kasih yang konsisten mengubah berkah duniawi dari sekadar harta benda menjadi peluang untuk kemajuan spiritual dan untuk memperkuat hubungan seseorang dengan Allah. Fokusnya adalah pada pengenalan dan penghargaan terhadap Pemberi berkah-berkah ini, yaitu Allah, daripada sekadar melekat pada pemberian itu sendiri. Penumbuhan rasa syukur ini memupuk pola pikir apresiasi dan kepuasan, yang penting untuk kesejahteraan spiritual dan kehidupan yang benar-benar memuaskan.

Lebih lanjut, penekanan Asy-Syadzili pada kepatuhan yang ketat terhadap syariat memberikan batasan etika untuk menikmati kesenangan hidup tanpa diperbudak olehnya. Dengan secara konsisten menghindari perbuatan tidak bermoral dan berusaha untuk menjaga hati yang suci, individu dapat berinteraksi dengan dunia dan berkahnya dengan cara yang menyenangkan Tuhan. Kerangka etika ini memastikan bahwa pengejaran kehidupan berkualitas tinggi tetap selaras dengan prinsip-prinsip Islam, mencegahnya merosot menjadi sekadar pemanjaan materialistis.

Asy-Syadzili juga memandang keterlibatan duniawi, terutama bekerja dan menafkahi diri sendiri dan komunitas, sebagai bagian integral dari praktik spiritual. Beliau mendorong para pengikutnya untuk mempertahankan profesi mereka dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat, menganggap tindakan ini sebagai bentuk ibadah ketika dilakukan dengan niat yang tulus. Perspektif ini menyoroti bahwa pertumbuhan spiritual tidak terbatas pada tindakan ritualistik tetapi mencakup semua aspek kehidupan ketika dijalani sesuai dengan bimbingan ilahi.

Pada akhirnya, tujuan inti ajaran Asy-Syadzili tetaplah pemurnian jiwa dan pencapaian ma’rifat Allah (pengetahuan tentang Tuhan). Beliau percaya bahwa ini dapat dicapai sambil menjalani kehidupan duniawi yang memuaskan, asalkan seseorang tetap fokus pada realisasi spiritual batin dan mematuhi prinsip-prinsip Islam. Penekanannya pada “kondisi hati” menunjukkan bahwa menumbuhkan keadaan batin berupa rasa syukur, kepuasan, dan mengingat Tuhan jauh lebih penting daripada terlibat dalam tampilan asketisme ekstrem lahiriah. Sintesis Asy-Syadzili dengan demikian menawarkan jalan yang praktis dan mudah diakses menuju pemenuhan spiritual bagi individu yang menavigasi kompleksitas keberadaan duniawi. Dengan menekankan rasa syukur dan perilaku etis, beliau menyediakan kerangka kerja di mana kesejahteraan materi dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan pertumbuhan spiritual, menantang gagasan bahwa keduanya bertentangan secara inheren.

Disiplin Spiritual dan Keterlibatan Duniawi dalam Jalan Syadziliyah

Jalan Syadziliyah, sebagaimana didirikan oleh Imam Abu Hasan Asy-Syadzili, menyediakan kerangka kerja terstruktur dari disiplin spiritual yang dimaksudkan untuk dipraktikkan bersamaan dengan keterlibatan aktif dalam kehidupan duniawi. Praktik inti (amalan) yang ditekankan dalam tarekat ini meliputi pelaksanaan yang teguh dari semua tindakan ibadah wajib (fara’id) dan Sunnah yang dikonfirmasi (praktik Nabi Muhammad). Para pengikut juga didorong untuk mencari penghasilan yang halal dan secara aktif berupaya menghilangkan sifat-sifat karakter yang tercela sambil menumbuhkan sifat-sifat yang terpuji, dipandu oleh prinsip-prinsip hukum Islam.

Inti dari Syadziliyah adalah praktik Dzikir, mengingat Allah, yang mengambil berbagai bentuk dan dianggap sebagai sarana vital untuk mendekatkan diri kepada Ilahi. Pembacaan doa-doa tertentu (Hizb), seperti Hizb al-Bahr yang terkenal, juga merupakan praktik yang signifikan dalam tarekat ini. Selain itu, memohon ampunan (Istighfar) dan mengirimkan shalawat kepada Nabi (Shalawat Nabi) secara teratur dianjurkan. Kontemplasi (Muraqabah), yang melibatkan duduk dalam kesendirian dengan ketulusan dan fokus pada kehadiran Allah, adalah latihan spiritual penting lainnya dalam Syadziliyah.

Pendekatan pendidikan dalam Syadziliyah menekankan bimbingan dan pelatihan yang diberikan oleh seorang mursyid, seorang pembimbing spiritual, yang memainkan peran penting dalam perkembangan spiritual seorang murid. Tujuan utama pendidikan ini adalah untuk memurnikan jiwa dan menjernihkan hati dengan menumbuhkan hubungan yang lebih dalam dengan Allah. Kurikulumnya sering didasarkan pada prinsip-prinsip Takhalli (mengosongkan diri dari sifat-sifat negatif), Tahalli (berhias dengan kualitas-kualitas mulia), dan Tajalli (pencerahan ilahi). Para murid juga belajar tentang berbagai tingkatan spiritual (maqamat) seperti Taubah (pertobatan), Istiqamah (keteguhan), Zuhud (keterikatan), Raja’ (harapan), dan Qana’ah (kepuasan). Lebih lanjut, proses pendidikan mencakup pembelajaran tentang etika Islam, prinsip-prinsip tauhid, dasar-dasar tasawuf, dan biografi Nabi Muhammad.

Aspek kunci dari jalan Syadziliyah adalah dorongannya bagi para pengikut untuk mempertahankan profesi mereka dan terlibat aktif di dunia. Asy-Syadzili menekankan pentingnya pelayanan masyarakat dan membantu mereka yang membutuhkan, menganggap tindakan ini sebagai bagian integral dari menjalani kehidupan yang memuaskan secara spiritual. Ini menyoroti komitmen Syadziliyah terhadap spiritualitas yang tidak terbatas pada kesalehan pribadi tetapi meluas hingga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.

Berbeda dengan beberapa tarekat Sufi lainnya yang mungkin menekankan praktik yang lebih ekstatis atau menuntut secara fisik, Syadziliyah umumnya digambarkan sebagai tarekat Sufi yang “sadar”. Tarekat ini sering kali tidak terlibat dalam ritual Sama yang rumit atau praktik lain yang mungkin ditemukan dalam tradisi Sufi yang berbeda. Fokusnya tetap pada transformasi batin melalui kepatuhan terhadap hukum Islam dan praktik spiritual inti yang disebutkan di atas, daripada tampilan asketisme ekstrem lahiriah. Pendekatan ini membuat jalan Syadziliyah dapat diakses oleh berbagai macam individu yang mungkin tidak cenderung atau memiliki kapasitas untuk bentuk asketisme yang lebih ketat. Disiplin spiritual dalam Syadziliyah dirancang untuk memfasilitasi pemurnian batin dan kedekatan dengan Tuhan sambil memungkinkan partisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan duniawi.

Perbandingan Pendekatan Sufi

FiturSyadziliyah (Asy-Syadzili)NaqshbandiyyaTarekat Lain (Contoh Umum)
Penekanan pada Kehidupan DuniawiKeterlibatan moderat, integrasi dengan praktik spiritualKeterlibatan dengan dunia sambil mempertahankan keterikatan batinTingkat keterikatan bervariasi, beberapa menekankan asketisme
Praktik UtamaSyukur, Dzikir, Hizb, kontemplasiDzikir senyap, kontemplasi, koneksi spiritualDzikir keras, musik (Sama), latihan fisik keras
Prinsip IntiKeseimbangan, syukur, kepatuhan pada Syariat, transformasi batinKeterikatan batin, mengingat Tuhan dalam setiap napasCinta, penghancuran diri, penyatuan dengan Tuhan

Relevansi Ajaran Asy-Syadzili dalam Masyarakat Kontemporer

Ajaran Imam Abu Hasan Asy-Syadzili memiliki relevansi yang luar biasa bagi masyarakat kontemporer, menawarkan bimbingan yang mendalam dalam menavigasi kompleksitas kehidupan modern. Penekanannya pada keseimbangan dan moderasi sangat beresonansi dengan kebutuhan untuk mengatasi ekses konsumerisme dan materialisme yang menjadi ciri sebagian besar dunia modern. Dalam lingkungan yang serba cepat dan sering kali membebani, ajarannya memberikan jangkar spiritual, mengingatkan individu akan pentingnya kedamaian batin dan hubungan dengan Ilahi.

Perspektif Asy-Syadzili menantang definisi kesuksesan yang sering kali sempit yang lazim dalam masyarakat modern, yang cenderung berfokus terutama pada kekayaan materi dan pencapaian duniawi. Ajarannya menyoroti pentingnya dimensi spiritual dan etika dalam mencapai pemenuhan sejati dan kualitas hidup yang tinggi. Dengan menekankan transformasi batin dan penumbuhan kebajikan, beliau menawarkan pemahaman kesuksesan yang lebih holistik yang mencakup kesejahteraan duniawi dan pertumbuhan spiritual.

Penekanan Syadziliyah pada pelayanan masyarakat dan keterlibatan etis memberikan model yang berharga untuk spiritualitas yang secara aktif terlibat dalam meningkatkan masyarakat. Dalam dunia yang sering dilanda ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial, ajaran Asy-Syadzili mendorong individu untuk menerjemahkan nilai-nilai spiritual mereka ke dalam tindakan bermakna yang berkontribusi pada kebaikan bersama. Pendekatan spiritualitas yang bertanggung jawab secara sosial ini menawarkan penawar yang ampuh terhadap bentuk-bentuk religiusitas yang murni individualistis atau terlepas dari kebutuhan komunitas.

Lebih lanjut, aksesibilitas dan kepraktisan jalan Syadziliyah membuatnya sangat relevan di zaman kontemporer. Izinnya untuk menikmati aspek kehidupan yang diperbolehkan dan dorongannya untuk mengintegrasikan praktik spiritual ke dalam rutinitas sehari-hari membuatnya dapat diakses oleh berbagai macam individu, terlepas dari keadaan sosial atau ekonomi mereka. Fokus pada transformasi batin daripada asketisme lahiriah yang ekstrem selaras dengan realitas dan tuntutan kehidupan modern, menawarkan jalan yang berkelanjutan untuk perkembangan spiritual.

Di era di mana ideologi ekstremis sering kali salah merepresentasikan ajaran Islam, penekanan kuat tarekat Syadziliyah pada kepatuhan terhadap Islam Sunni arus utama dan pendekatan moderatnya dapat berfungsi sebagai narasi tandingan yang berharga. Dengan mempromosikan pemahaman iman yang seimbang dan terintegrasi, warisan Asy-Syadzili dapat membantu menumbuhkan apresiasi yang lebih bernuansa dan inklusif terhadap spiritualitas Islam, baik di dalam komunitas Muslim maupun di dunia yang lebih luas.

Kesimpulan:
Merangkul “Kehidupan Berkualitas Tinggi” yang Diperkaya Secara Spiritual melalui Kebijaksanaan Asy-Syadzili

Sebagai kesimpulan, ajaran Imam Abu Hasan Asy-Syadzili menawarkan perspektif yang menarik tentang hubungan antara tasawuf dan kehidupan berkualitas tinggi. Jalan Sufinya tidak mengharuskan penolakan terhadap berkah duniawi, melainkan menyediakan kerangka kerja untuk merangkul kehidupan yang memuaskan melalui penumbuhan rasa syukur, kepatuhan yang tekun terhadap prinsip-prinsip etika, dan fokus yang konsisten pada realisasi spiritual batin. Kehidupan Asy-Syadzili sendiri dan warisan abadi tarekat Syadziliyah berdiri sebagai bukti kemungkinan mengintegrasikan spiritualitas yang mendalam dengan keterlibatan aktif dan bertanggung jawab di dunia.

Penekanan utamanya pada rasa syukur sebagai landasan pertumbuhan spiritual dan dorongannya untuk menikmati hal-hal baik yang diperbolehkan dalam hidup, ditambah dengan komitmen yang kuat terhadap hukum Islam, menawarkan pendekatan iman yang seimbang dan praktis. Sintesis ini menantang kesalahpahaman bahwa kemajuan spiritual membutuhkan keterikatan sepenuhnya dari urusan duniawi, alih-alih menyajikan jalan di mana kesejahteraan materi, ketika didekati dengan niat dan sikap yang benar, memang dapat mendukung dan meningkatkan perjalanan spiritual seseorang.

Kebijaksanaan abadi ajaran Asy-Syadzili terus memegang relevansi yang signifikan bagi individu yang mencari kehidupan yang bermakna dan seimbang dalam kompleksitas masyarakat kontemporer. Penekanannya pada moderasi, perilaku etis, dan tanggung jawab sosial memberikan kerangka kerja yang berharga untuk menavigasi tantangan dunia modern sambil tetap berpegang pada iman seseorang. Dengan mempertimbangkan dan menerapkan prinsip-prinsip Asy-Syadzili, individu dapat berusaha menuju “Kehidupan Berkualitas Tinggi” yang diperkaya secara spiritual yang mengharmonisasikan aspirasi duniawi mereka dengan pengejaran utama mereka untuk mendekatkan diri kepada Ilahi. Warisan Asy-Syadzili dengan demikian menawarkan sumber daya yang berharga untuk menumbuhkan pemahaman spiritualitas Islam yang lebih holistik dan terintegrasi di dunia modern.

Wallahu a’lam.

Sumber:

  1. Islam, Sufism, and Character Education in Indonesia History – Minda Masagi Suci Journals, https://journals.mindamas.com/index.php/tawarikh/article/download/1013/910
  2. Tasawuf dan High Living menurut Imam Abu Hasan Asy-Syadzili – Tebuireng Online, https://tebuireng.online/tasawuf-dan-high-living-menurut-imam-abu-hasan-asy-syadzili/
  3. PEMIKIRAN TASAWUF PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM – SIDUCAT, https://www.siducat.org/index.php/sembj/article/download/165/143
  4. Redefining the Concept of Asceticism (Zuhd) in Tasawwuf: Abul Hasan Ash-Shadhili’s View and His Tariqa Shadhiliyya, https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teosofia/article/view/5225/pdf
  5. Is luxury living unlawful for a Muslim? – Arab News, https://www.arabnews.com/news/571356
  6. Al-Shadhili – Wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Shadhili
  7. Shadhili – Wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/Shadhili
  8. Shadhiliiyyah.sg, https://www.shadhiliyyah.sg/
  9. Abu al-Hasan al-Shadhili | Anqa Publishing, https://anqa.co.uk/about-ibn-arabi/contemporaries/abu-al-hasan-al-shadhili
  10. Sayyidina Abu al-Hasan al-Shadhili | Mazarat Misr, https://mazaratmisr.org/humaythara/sayyidina-abu-hasan-al-shadhili/
  11. Tariqah Syadziliyah & Tariqah Ba’alwi​ – Dowra SG, https://dowra.sg/tariqah-syadziliyah-and-tariqah-baalwi/
  12. The Shadhili Order – School of Sufi Teaching, https://sufischool.org/orders/shadhili.html
  13. Shadhuli Tareeqa – Zawiya Shaduliya, https://shadhuli.com/Shadhuli%20Tareeqa.html
  14. Imam Abu Hasan asy-Syadzili, Pembesar Tasawuf dari Maroko – NU Online, https://nu.or.id/sirah-nabawiyah/imam-abu-hasan-asy-syadzili-pembesar-tasawuf-dari-maroko-4ADHA
  15. Distingsi dan Diaspora Tasawuf Abû al-Ḥasan al-Shâdhilî | Teosofi, https://jurnalfuf.uinsa.ac.id/index.php/teosofi/article/view/13
  16. (PDF) DISTINGSI DAN DIASPORA TASAWUF ABÛ AL-HASAN AL …, https://www.researchgate.net/publication/285746926_DISTINGSI_DAN_DIASPORA_TASAWUF_ABU_AL-HASAN_AL-SHADHILI
  17. Shadhiliyya – The North African Sufi Order – YouTube, https://www.youtube.com/watch?v=YLRpJiItvMw
  18. Abul Hasan Ash-Shadhili Research Hub, https://shadhiliresearchhub.punjab.gov.pk/introduction
  19. (PDF) REDEFINING THE CONCEPT OF ASCETICISM (ZUHD) IN TASAWWUF:ABUL HASAN ASH-SHADHILI’S VIEW AND HIS TARIQA SHADHILIYYA – ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/342669474_REDEFINING_THE_CONCEPT_OF_ASCETICISM_ZUHD_IN_TASAWWUFABUL_HASAN_ASH-SHADHILI’S_VIEW_AND_HIS_TARIQA_SHADHILIYYA
  20. BAYAN LINNAS SERIES 199: BALANCE BETWEEN MATERIALISTIC AND SPIRITUALITY, https://muftiwp.gov.my/en/artikel/bayan-linnas/3580-bayan-linnas-series-199-balance-between-materialistic-and-spirituality
  21. Finding Balance: Islamic Insights for Harmonizing Spiritual and Material Needs – Tazkiyah, https://kharchoufa.com/en/finding-balance-islamic-insights-for-harmonizing-spiritual-and-material-needs/
  22. How to Balance Deen and Dunya in Today’s World – DEENIN, https://deenin.com/blogs/all-blogs/how-to-balance-deen-and-dunya-in-today-s-world
  23. Maintaining Balance: Islam and Modern Life – TheNoor, https://thenoor.co/blog/maintaining-balance-islam-and-modern-life/
  24. Purity of the Heart from Worldly Possessions as an Implementation of Zuhud in the View of Al-Ghazali Fahmi Muzzakii Akbar Depart, https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/slw/article/download/38991/11727
  25. The Zuhud Way of Life: Stoicism in Islamic Perspective – Dompet Dhuafa, https://www.dompetdhuafa.org/en/zuhud-lifestyle-islamic-stoicism/
  26. Hadith 31: The concept of Al-Zuhd (asceticism) in Islam – Muslim Japan, https://muslimjapan.com/2011/07/07/hadith-31-the-concept-of-al-zuhd-asceticism-in-islam/
  27. Characteristics of Zuhud or Asceticism in The Quran – Universitas Ahmad Dahlan,
    https://journal2.uad.ac.id/index.php/taqaddumi/article/download/4555/3253/31652
  28. IRSYAD AL-HADITH SERIES 435: THE EXPLANATION ON THE MEANING OF ZUHUD, https://muftiwp.gov.my/en/artikel/irsyad-al-hadith/3806-irsyad-al-hadith-series-435-the-explanation-on-the-meaning-of-zuhud
  29. Islam Promotes Modesty and Pure Living – Dr Musharraf Hussain, https://www.musharrafhussain.com/islam-promotes-decency-and-pure-living/
  30. Sufi Education According to The Shadhiliyya Method in The Islamic Society in Egypt and Indonesia – Formosa Publisher, https://journal.formosapublisher.org/index.php/jeda/article/download/9950/10632/41635
  31. Why some people enjoy a luxurious living while others endure hardships?, https://www.dar-alifta.org/en/fatwa/details/7984/why-some-people-enjoy-a-luxurious-living-while-others-endure-hardships
  32. Islamic bioethics: a general scheme – PMC, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3713653/
  33. ejournal.kopertais4.or.id, https://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/wutsqa/article/download/1018/753/
  34. The Shadhili Tariqa, https://ia600308.us.archive.org/23/items/ShadhiliTariqa/Shadhili%20tariqa.pdf
  35. Our Guide – The Shadhiliyya Sufi Community of Rhode Island, http://www.rhodeislandsufi.com/our-guide-1
  36. journal.formosapublisher.org, https://journal.formosapublisher.org/index.php/jeda/article/download/9950/10632/41635#:~:text=The%20method%20of%20teaching%20the%20Shadhiliyya%20in%20Egypt%20is%20based,)%20(Fajer%2C%202022).

Almustofa Ahmad, Guru – YPI. Sunan Muria Cilimus, YPI. Sunan Muria Cilimus