Al-Imaam Al-'Allaamah Asy-Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani at-Tanari asy-Syafi'i (الإمام العلامة الشيخ محمد نووي بن عمر الجاوي البنتني التناري الشافعي)
Al-Imaam Al-'Allaamah Asy-Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani at-Tanari asy-Syafi'i (الإمام العلامة الشيخ محمد نووي بن عمر الجاوي البنتني التناري الشافعي)

Pendidikan Islam Menurut Syekh Nawawi al-Bantani: Konsep, Etika, dan Relevansinya di Era Modern

Pemikiran pendidikan Islam Syekh Nawawi al-Bantani. Pelajari konsep ta'lim, tarbiyah, ta'dib, kurikulum, metode, etika (adab) guru-murid, dan relevansinya bagi pendidikan karakter & moderasi beragama di era modern.

Mengenal Syekh Nawawi al-Bantani: Ulama Nusantara Pengaruh Global

Syekh Nawawi al-Bantani, yang memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani , merupakan figur ulama Nusantara yang reputasinya melampaui batas geografis Indonesia. Lahir di Tanara, Banten, sekitar tahun 1813 atau 1815 Masehi dan wafat di Mekkah pada tahun 1897 M , beliau dikenal luas sebagai seorang intelektual dan pendidik yang sangat produktif. Penguasaannya atas berbagai disiplin ilmu keislaman—mencakup Tafsir, Fiqh, Tauhid, Tasawuf, Hadis, Akhlak, hingga Bahasa Arab—tercermin dalam ratusan karyanya yang monumental. Kealiman dan pengaruhnya diakui secara internasional, terbukti dengan gelar kehormatan Sayyid Ulama al-Hijaz (Penghulu Ulama Hijaz) yang disandangnya, sebuah pengakuan atas kedudukannya sebagai otoritas keilmuan di pusat dunia Islam saat itu. Pengaruh Syekh Nawawi secara khusus sangat terasa dalam tradisi intelektualisme Islam di Nusantara, terutama melalui institusi pesantren.

Mengkaji pemikiran pendidikan Syekh Nawawi al-Bantani menjadi sangat penting dan relevan. Beliau tidak hanya meletakkan dasar-dasar teologis dan kerangka etika keilmuan di lingkungan pesantren , tetapi juga menjadi guru bagi banyak ulama besar Indonesia yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren terkemuka, seperti KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH. Kholil Bangkalan. Karya-karyanya, yang dikenal sebagai kitab kuning, hingga kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum pendidikan pesantren di berbagai tingkatan. Di tengah tantangan era modern dan globalisasi yang kompleks, menelaah kembali model pendidikan Islam klasik seperti yang digagas oleh Syekh Nawawi menawarkan perspektif berharga untuk memperkaya dan memperkuat praktik pendidikan Islam kontemporer.

Artikel ini bertujuan untuk mengupas konsep pendidikan Islam dalam pandangan Syekh Nawawi al-Bantani. Pembahasan akan mencakup hakikat dan tujuan pendidikan, pandangannya mengenai kurikulum dan metode pengajaran, serta etika yang harus dipegang oleh pendidik dan peserta didik. Lebih lanjut, artikel ini akan menganalisis relevansi dan implikasi pemikiran beliau bagi pengembangan pendidikan Islam di era modern, dengan menyertakan kutipan-kutipan relevan dari karya-karyanya yang telah divalidasi.


Konsep Dasar Pendidikan Islam Menurut Syekh Nawawi al-Bantani

Pemikiran Syekh Nawawi mengenai pendidikan Islam berakar kuat pada pandangan dunia tauhid dan bertujuan membentuk insan kamil yang mengintegrasikan aspek spiritual, intelektual, dan moral. Beliau menggunakan beberapa istilah kunci untuk menjelaskan dimensi-dimensi pendidikan dalam Islam.

  • Hakikat Pendidikan: Makna dan Relasi Ta’lim, Tarbiyah, Ta’dib

Syekh Nawawi al-Bantani menggunakan tiga istilah utama yang sering diasosiasikan dengan pendidikan dalam Islam, yaitu ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Bagi beliau, ketiga istilah ini secara kolektif menggambarkan hakikat pendidikan Islam sebagai sebuah proses dinamis yang tidak hanya melibatkan transfer pengetahuan, nilai, dan metodologi (transfer of knowledge, value, methodology), tetapi juga transformasi mendalam pada diri peserta didik (transformation).

  • Ta’lim: Istilah ini seringkali dipahami sebagai pengajaran atau instruksi. Namun, Syekh Nawawi memberikan makna yang lebih luas. Beliau menafsirkan bahwa ta’lim tidak hanya sebatas penyampaian informasi (aspek kognitif), tetapi juga mencakup pembimbingan menuju keimanan dan pemahaman tentang bagaimana mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan. Dalam menafsirkan Surat Ar-Rahman ayat 2 (عَلَّمَ الْقُرْآنَ), beliau menjelaskan bahwa Allah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia melalui perantara Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, yang kemudian mengajarkannya kepada umat. Ini menunjukkan proses transmisi ilmu yang terstruktur. Ta’lim tampaknya dianggap sebagai istilah yang paling luas cakupannya oleh Syekh Nawawi.
  • Tarbiyah: Istilah ini, yang secara bahasa berarti tumbuh, berkembang, atau memelihara, dalam pandangan Syekh Nawawi lebih ditekankan pada konteks pengasuhan dan pendidikan anak sejak usia dini. Merujuk pada doa dalam Surat Al-Isra ayat 24 (…رَّبِ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا), beliau mengaitkan tarbiyah dengan peran orang tua dalam mendidik dan mengasihi anak dari kecil hingga dewasa. Fokusnya adalah pada perkembangan fisik, emosional, dan spiritual anak dalam lingkungan keluarga.
  • Ta’dib: Istilah ini secara spesifik merujuk pada pembentukan adab, etika, atau akhlak mulia. Syekh Nawawi, dalam menafsirkan perintah “peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim: 6), mengutip pandangan yang memaknai addibûhum (didiklah mereka) sebagai ‘allimûhum mahâsin al-akhlâq (ajarkanlah mereka akhlak yang mulia). Meskipun beliau terkadang menyamakan ta’dib dengan ta’lim karena keduanya mengarah pada transformasi, penekanan utama ta’dib adalah pada internalisasi nilai-nilai moral dan pembentukan karakter Islami.

Meskipun terdapat nuansa perbedaan dalam penekanan masing-masing istilah, Syekh Nawawi tampaknya tidak membuat pemisahan yang kaku di antara ketiganya. Beliau melihat ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib sebagai aspek-aspek yang saling terkait dan terintegrasi dalam satu kesatuan proses pendidikan yang holistik. Fokus utamanya bukanlah pada definisi terminologis yang rigid, melainkan pada hasil akhir pendidikan yang komprehensif: terbentuknya pribadi Muslim yang utuh, yang mengalami transformasi secara intelektual, spiritual, dan etika. Tujuan akhirnya adalah transformasi, bukan sekadar transfer informasi. Pendekatan terpadu ini menawarkan wawasan bagi pendidikan Islam modern untuk menghindari pemisahan artifisial antara pengembangan intelektual, pertumbuhan spiritual, dan pembinaan karakter.

Perbandingan Konsep Ta’lim, Tarbiyah, dan Ta’dib Menurut Syekh Nawawi al-Bantani

IstilahFokus UtamaCakupan Usia/KonteksPenekanan
Ta’limPengajaran, Transfer Ilmu, Pembimbingan ImanUmum, Segala UsiaAspek Kognitif, Pemahaman, Implementasi Ajaran (Cakupan Terluas)
TarbiyahPengasuhan, Pertumbuhan, PemeliharaanTerutama Anak Usia Dini, KeluargaPerkembangan Fisik, Emosional, Spiritual Anak
Ta’dibPembentukan Adab, Etika, Akhlak MuliaUmum, Segala UsiaInternalisasi Nilai Moral, Pembentukan Karakter (Dimensi Etis dari Ta’lim)
  • Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan akhir dari seluruh proses pendidikan dalam pandangan Syekh Nawawi adalah untuk mencapai keridaan Allah SWT (mardatillah) dan meraih kebahagiaan hidup di akhirat (ukhrawiyah). Tujuan fundamental ini merupakan refleksi dari hakikat penciptaan manusia sebagai hamba Allah (ubudiyah). Semua aktivitas, termasuk menuntut ilmu, harus dibingkai dalam niat untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Dari tujuan utama ini, Syekh Nawawi merinci beberapa tujuan derivatif yang lebih operasional:

  1. Memberantas Kebodohan (Jahalah): Pendidikan bertujuan untuk menghilangkan kebodohan dari diri sendiri dan kemudian dari orang lain. Ilmu dipandang sebagai cahaya yang menerangi kegelapan ketidaktahuan.
  2. Menghidupkan dan Melestarikan Ajaran Islam: Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama, berfungsi untuk menjaga, memelihara, dan menyebarkan ajaran Islam (ihya’ al-din wa ibqa’ al-islam bi al-‘ilm).
  3. Mewujudkan Rasa Syukur (Syukur): Menuntut dan mengamalkan ilmu merupakan bentuk syukur atas nikmat akal dan kesehatan fisik yang dianugerahkan Allah.

Tujuan-tujuan ini terkait erat dengan fungsi ganda manusia dalam Islam: sebagai hamba (‘abd) dan sebagai khalifah (wakil Allah di bumi). Mencari mardatillah secara langsung berkaitan dengan fungsi ubudiyah. Sementara itu, memberantas kebodohan dan melestarikan Islam lebih terkait dengan peran kekhalifahan, yaitu mengelola kehidupan dan memakmurkan bumi sesuai dengan petunjuk Ilahi, yang pada akhirnya juga harus berada dalam kerangka pengabdian (ubudiyah). Dengan demikian, tujuan pendidikan menurut Syekh Nawawi mencakup dimensi vertikal (hubungan dengan Allah) dan horizontal (hubungan dengan sesama manusia dan alam), meliputi aspek etika, intelektual, sosial kemasyarakatan, jasmani, dan bahkan profesional.

Pandangan Syekh Nawawi menunjukkan bahwa ilmu memiliki nilai intrinsik sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan wujud syukur, sekaligus nilai instrumental sebagai sarana untuk perbaikan diri, masyarakat, dan pelestarian agama. Pendidikan, oleh karenanya, bukan sekadar latihan intelektual, melainkan sebuah kewajiban spiritual dan sosial yang mendalam, mengintegrasikan keselamatan pribadi dengan tanggung jawab komunal. Hal ini menjadi pengingat bagi pendidikan modern agar tidak terjebak dalam pandangan utilitarian semata, melainkan tetap mengakar pada tujuan spiritual dan peran sosialnya.  

  • Esensi Pendidikan: Proses Transfer dan Transformasi Holistik Sepanjang Hayat

Syekh Nawawi memahami pendidikan sebagai proses yang melampaui sekadar transfer informasi. Ia menekankan pentingnya transfer pengetahuan (transfer of knowledge), nilai (transfer of value), dan metodologi (transfer of methodology), yang kesemuanya harus bermuara pada transformasi diri peserta didik (transformation). Artinya, ilmu dan nilai yang dipelajari harus terinternalisasi, menjadi bagian dari kepribadian, dan mampu mengubah cara pandang serta perilaku individu.  

Pendidikan dalam perspektifnya bersifat holistik, mencakup pengembangan seluruh potensi manusia secara seimbang: aspek jasmani (melalui praktik dan amal), aspek intelektual (akal), serta aspek mental dan spiritual (hati dan ruh). Proses ini tidak terbatas pada usia tertentu; pendidikan adalah perjalanan sepanjang hayat (long life education), sebagaimana tersirat dalam dedikasi beliau sendiri untuk terus belajar dan mengajar sepanjang hidupnya dan didukung oleh hadis yang masyhur tentang menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat. Pendidikan tidak berhenti pada masa kanak-kanak atau remaja, tetapi terus berlanjut hingga dewasa.

Untuk menggambarkan kedalaman proses pencarian ilmu dan spiritualitas, Syekh Nawawi menggunakan analogi yang indah: Syariat diibaratkan perahu, Thariqah (jalan tasawuf) laksana lautan, dan Haqiqah (hakikat kebenaran) adalah mutiara di dalamnya. Untuk meraih mutiara tersebut, seseorang memerlukan usaha keras dan keberanian menempuh tantangan, yakni mengarungi lautan (Thariqah) dengan menggunakan perahu (Syariat). Analogi ini menggarisbawahi bahwa pencapaian ilmu sejati dan kedekatan dengan Allah membutuhkan proses, disiplin, dan integrasi antara aturan formal (Syariat) dan penghayatan batin (Thariqah).  

Dalam konteks ini, kutipan dari tafsir Marah Labid menjadi relevan. Saat menafsirkan penciptaan manusia (خَلَقَ الْإِنسَانَ), Syekh Nawawi menyatakan: “أَيْ أَنْشَأَهُ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ مِنَ الْقُوَى الظَّاهِرَةِ وَ الْبَاطِنَةِ”. Terjemahan: “Yakni, Dia (Allah) menciptakannya dengan membekalinya kekuatan lahir dan batin.” Ini menunjukkan bahwa manusia sejak awal dibekali potensi ganda (fisik dan non-fisik) yang menjadi modal dasar untuk belajar dan berkembang. Demikian pula saat menafsirkan ayat “Dia mengajarnya pandai berbicara” (عَلَّمَهُ الْبَيَانَ), beliau menulis: “أَيِ النُّطْقَ…”. Terjemahan: “Yakni (mengajarkannya) berbicara…” Ini menggarisbawahi peran vital bahasa dan kemampuan berkomunikasi sebagai alat fundamental dalam proses pendidikan dan transfer ilmu.  

Kurikulum dan Materi Pendidikan dalam Pandangan Syekh Nawawi

Pandangan Syekh Nawawi mengenai kurikulum pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh tujuannya yang berorientasi pada mardatillah dan pembentukan pribadi Muslim yang utuh.

  • Prioritas Ilmu Agama (Fardhu ‘Ain)

Inti kurikulum menurut Syekh Nawawi adalah ilmu-ilmu keagamaan, khususnya yang berstatus fardhu ‘ain, yaitu kewajiban yang melekat pada setiap individu Muslim. Di antara semua ilmu fardhu ‘ain, Tauhid (ilmu tentang keesaan Allah) menempati posisi paling fundamental dan utama. Keyakinan yang benar kepada Allah menjadi landasan bagi seluruh aspek kehidupan dan ibadah.  

Selain Tauhid, ilmu-ilmu agama lain yang dianggap esensial meliputi Fiqh (hukum Islam praktis, terutama dalam mazhab Syafi’i yang dianutnya), Tasawuf atau Akhlak (ilmu penyucian jiwa dan etika), Tafsir Al-Qur’an, dan Hadis. Prioritas ini terlihat jelas dari fokus pengajaran beliau di Masjidil Haram dan mayoritas tema karya tulisnya yang berjumlah ratusan.  

  • Pentingnya Ilmu Muqaddimaat (Bahasa Arab)

Untuk dapat memahami sumber-sumber utama ajaran Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) yang berbahasa Arab, Syekh Nawawi menekankan pentingnya penguasaan ilmu-ilmu alat atau muqaddimaat (‘ulum al-âlah). Yang paling utama di antaranya adalah Bahasa Arab, mencakup Nahwu (tata bahasa), Sharaf (morfologi), dan Balaghah (retorika). Banyak dari karya beliau sendiri berupa syarah (komentar) atas kitab-kitab dasar tata bahasa Arab, menunjukkan perhatiannya pada penguasaan fondasi ini. Penekanan ini selaras dengan struktur kurikulum pesantren tradisional yang menjadikan pembelajaran Bahasa Arab sebagai tahap awal yang krusial.

  • Keseimbangan Ilmu Agama dan Umum (Analisis)

Menganalisis pandangan Syekh Nawawi tentang keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum (‘duniawi’) memerlukan kehati-hatian. Fokus utamanya yang sangat kuat pada ilmu-ilmu agama seringkali menimbulkan kritik bahwa pemikirannya cenderung mengabaikan ilmu-ilmu umum yang penting untuk kehidupan modern. Namun, pandangan ini perlu ditinjau lebih dalam.  

Syekh Nawawi memasukkan ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah (kewajiban komunal), seperti ilmu kedokteran, dalam kerangka materi pendidikannya. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak sepenuhnya menolak ilmu di luar lingkup agama murni. Selain itu, penekanannya pada muqaddimaat seperti Bahasa Arab memperlihatkan kesadarannya akan pentingnya ilmu penunjang.  

Kerangka berpikir Syekh Nawawi tampaknya bukan dikotomi antara ‘agama’ versus ‘umum’, melainkan sebuah hierarki berdasarkan tujuan akhir, yaitu mardatillah. Ilmu agama adalah inti (fardhu ‘ain) karena berhubungan langsung dengan pengenalan dan pengabdian kepada Allah. Ilmu alat (muqaddimaat) penting sebagai sarana memahami ilmu agama. Ilmu fardhu kifayah penting untuk kemaslahatan umat. Jadi, ini lebih merupakan soal prioritas dan integrasi, bukan eksklusi. Ilmu apa pun dapat bernilai Islami jika dipelajari dan diamalkan dengan niat yang benar dan dalam kerangka etika Islam. Interpretasi modern atas pemikirannya dapat mendorong pengembangan kurikulum terpadu, di mana ilmu-ilmu ‘sekuler’ diajarkan dengan landasan etika dan tujuan yang selaras dengan nilai-nilai Islam, menjadikannya bagian dari upaya mencapai mardatillah, bukan sebagai entitas terpisah atau inferior. Kuncinya terletak pada niat (niyyah) dan kerangka pandang yang digunakan.

  • Materi Inti

Berdasarkan korpus karyanya dan praktik pengajarannya, materi inti dalam kurikulum Syekh Nawawi meliputi: Tauhid, Fiqh (khususnya Mazhab Syafi’i), Tasawuf/Akhlak, Tafsir Al-Qur’an, Hadis, dan Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah).

Metode Pengajaran Efektif ala Syekh Nawawi

Syekh Nawawi tidak hanya fokus pada konten, tetapi juga pada cara penyampaian ilmu yang efektif. Beberapa prinsip metode pengajaran yang dapat disarikan dari pemikiran dan praktiknya adalah:

  • Prinsip Komunikatif (Bahasa Mudah): Beliau menekankan penggunaan bahasa yang jelas, sederhana, dan mudah dipahami oleh peserta didik sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Produktivitasnya dalam menulis kitab-kitab syarah (komentar) atas teks-teks klasik yang rumit merupakan bukti nyata upayanya untuk membuat ilmu lebih aksesibel. Pengamat seperti Snouck Hurgronje mencatat kefasihan beliau dalam membaca teks Arab, meskipun mungkin mengalami kesulitan dalam percakapan sehari-hari, yang menunjukkan fokusnya pada penyampaian materi ajar.
  • Prinsip Gradual (Tadarruj): Materi pelajaran hendaknya disajikan secara bertahap, dimulai dari konsep yang paling mudah menuju yang lebih kompleks. Seorang guru harus memastikan pemahaman murid pada satu topik sebelum beralih ke topik berikutnya. Prinsip ini tercermin dalam sistem pengajian kitab kuning di pesantren yang berjenjang.
  • Prinsip Keteladanan (Qudwah): Peran guru sebagai teladan (uswah hasanah) sangat ditekankan. Karakter, sikap, dan perilaku guru dianggap sebagai bagian integral dari proses pendidikan. Guru harus menjadi cerminan hidup dari nilai-nilai yang diajarkannya. Kesaksian Snouck Hurgronje tentang kerendahan hati dan kesederhanaan Syekh Nawawi dalam kehidupan sehari-hari menguatkan prinsip ini.
  • Prinsip Adaptif (Sesuai Kemampuan Siswa): Metode dan materi pengajaran perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi individual peserta didik. Ini termasuk memberikan perhatian dan bimbingan khusus kepada murid yang mungkin mengalami kesulitan belajar.
  • Metode Lainnya: Sumber-sumber juga menyebutkan penggunaan metode lain seperti dialog (hiwar), kisah-kisah dari Al-Qur’an dan Sunnah, penggunaan perumpamaan (amtsal), belajar dari pengalaman, mengambil pelajaran (‘ibrah), serta penggunaan motivasi dan peringatan (targhib wa tarhib). Praktik pengajaran beliau di Mekkah, yang melibatkan interaksi langsung dengan murid dari berbagai tingkatan , secara implisit menunjukkan penggunaan metode tradisional seperti sorogan (individual) dan bandongan (kolektif). Pengulangan (tikrar atau muraja’ah) juga merupakan elemen kunci dalam metode pembelajarannya.
  • Lingkungan Belajar: Syekh Nawawi menyadari pentingnya lingkungan belajar yang kondusif, baik itu di masjid (seperti Masjidil Haram tempat beliau mengajar), di rumah, maupun di lembaga pendidikan formal seperti pesantren.

Etika Pendidik (Mu’allim) dan Peserta Didik (Muta’allim)

Aspek etika atau adab menempati posisi sentral dalam paradigma pendidikan Syekh Nawawi. Beliau memberikan panduan terperinci mengenai perilaku dan sikap yang seharusnya dimiliki oleh pendidik dan peserta didik.

  • Adab dan Tanggung Jawab Pendidik (Mu’allim)

Syekh Nawawi memandang tinggi kedudukan seorang pendidik (ulama), menyamakannya dengan pewaris para Nabi (العلماء ورثة الأنبياء). Oleh karena itu, seorang pendidik memikul tanggung jawab moral dan spiritual yang besar. Berdasarkan kitab-kitab seperti Maraqi al-Ubudiyyah dan Qami’ut Tughyan , beberapa etika utama bagi pendidik adalah:  

  1. Ikhlas: Mengajar semata-mata karena Allah SWT, bukan untuk tujuan duniawi.
  2. Berakhlak Mulia: Menjadi teladan dalam mengamalkan ajaran Islam.
  3. Sabar: Memiliki kesabaran, terutama dalam menghadapi pertanyaan dan kekurangan murid.
  4. Tawadhu’ (Rendah Hati): Menghindari kesombongan, mengakui keterbatasan ilmu jika tidak tahu (“Wallahu a’lam”).
  5. Kasih Sayang (Rahmah): Menunjukkan kelembutan dan pengertian kepada murid.
  6. Berwibawa dan Serius: Menjaga sikap tenang, fokus, dan bermartabat saat mengajar.
  7. Menghindari Sifat Tercela: Menjauhi sifat iri (hasad), pamer (riya’), bangga diri (‘ujub), dan merendahkan orang lain.
  8. Membimbing dengan Benar: Mengarahkan murid pada ilmu yang bermanfaat dan menjauhkan dari yang berbahaya, serta mendahulukan kewajiban fardhu ‘ain.
  9. Menjadi Teladan (Qudwah): Konsisten antara ucapan dan perbuatan dalam ketakwaan.
  • Adab dan Kewajiban Peserta Didik (Muta’allim) dalam Menuntut Ilmu

Peserta didik juga dituntut memiliki adab yang tinggi dalam proses belajar. Sumber-sumber seperti Maraqi al-Ubudiyyah , Nashaih al-‘Ibad , dan Qami’ut Tughyan menguraikan etika berikut:  

  1. Menghormati Guru (Ta’zhim al-Mu’allim): Memberi salam, mendengarkan dengan penuh perhatian, meminta izin sebelum berbicara atau bertanya, berdiri saat guru berdiri sebagai tanda hormat.
  2. Niat yang Benar (Niyyah Shalihah): Menuntut ilmu karena Allah, untuk menghilangkan kebodohan, mengamalkan dan menyebarkan Islam, serta sebagai bentuk syukur. Menghindari niat karena tujuan duniawi seperti mencari popularitas atau harta. Kutipan dari Qami’ut Tughyan menegaskan: “مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيَرْضَى بِهِ اللهُ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ…” (Barangsiapa mencari ilmu untuk meraih ridha Allah dan negeri akhirat…).
  3. Fokus dan Sungguh-sungguh: Memperhatikan penjelasan guru, tidak terdistraksi, dan tekun dalam belajar.
  4. Tawadhu’: Tidak bersikap sombong, tidak membantah guru secara tidak sopan, bersedia menerima kebenaran dan koreksi.
  5. Sabar dan Tekun (Sabr wa Mujahadah): Bertahan dalam menghadapi kesulitan belajar dan tidak mudah putus asa.
  6. Menyucikan Hati: Membersihkan hati dari sifat-sifat tercela agar mudah menerima cahaya ilmu.
  7. Mengamalkan Ilmu: Berusaha mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.
  8. Menghargai Ilmu: Memandang ilmu sebagai warisan terbaik (العِلْمُ خَيْرُ مِيْرَاثٍ).
  9. Memiliki Sifat Terpuji: Mengembangkan sifat wara’ (kehati-hatian dalam agama) , sidq (jujur) , dan ‘adl (adil).

Penekanan yang luar biasa pada adab ini menunjukkan bahwa bagi Syekh Nawawi, etika bukanlah sekadar pelengkap, melainkan prasyarat fundamental untuk memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat. Ini sangat terkait dengan dimensi tasawuf dalam pemikirannya. Penyucian jiwa dan pembinaan karakter dilihat sebagai persiapan penting untuk menerima ilmu ilahi. Proses belajar tidak dapat dipisahkan dari pengembangan moral dan spiritual. Adab memfasilitasi transmisi dan resepsi ilmu yang benar, memastikan bahwa ilmu tersebut membawa transformasi positif pada diri pembelajar, bukan sekadar akumulasi informasi atau kesombongan intelektual. Ini menjadi tantangan bagi pendidikan modern yang seringkali memisahkan aspek kognitif dari pengembangan etika dan spiritual. Model Syekh Nawawi menegaskan perlunya integrasi keduanya, menuntut lingkungan belajar yang dibangun di atas dasar saling menghormati, kerendahan hati, keikhlasan, dan fokus pada pembentukan karakter seiring dengan pencapaian akademis. Peran guru meluas dari sekadar instruktur menjadi pembimbing spiritual dan teladan moral.

Ringkasan Etika Pendidik dan Peserta Didik Menurut Syekh Nawawi

PihakAspek Etika UtamaContoh PerilakuSumber Rujukan Utama
PendidikIkhlas, Akhlak Mulia, Sabar, Tawadhu’, Kasih SayangMengajar karena Allah, Menjadi teladan, Sabar hadapi murid, Akui keterbatasan ilmuMaraqi al-Ubudiyyah, Qami’ut Tughyan
Peserta DidikHormat pada Guru, Niat Benar, Fokus, Tawadhu’, SabarMemberi salam, Niat karena Allah, Mendengarkan, Tidak sombong, Tekun belajarMaraqi al-Ubudiyyah, Nashaih al-‘Ibad, Qami’ut Tughyan

Beberapa kutipan dari Nashaih al-‘Ibad yang relevan dengan etika menuntut ilmu antara lain penekanan pada ilmu sebagai warisan terbaik, adab sebagai pekerjaan terbaik, takwa sebagai bekal terbaik, ibadah sebagai perdagangan terbaik, amal saleh sebagai penuntun terbaik, akhlak terpuji sebagai teman terbaik, lemah lembut sebagai penolong terbaik, qana’ah (merasa cukup) sebagai kekayaan terbaik, taufik (pertolongan Allah) sebagai pertolongan terbaik, dan mengingat kematian sebagai pendidik terbaik. Kewajiban mencari ilmu ditegaskan dengan hadis “طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ” (Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim) dan hadis yang mendorong pencarian ilmu meskipun harus menempuh kesulitan.  

Relevansi dan Implikasi Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi di Era Modern

Meskipun berasal dari konteks abad ke-19, pemikiran pendidikan Syekh Nawawi al-Bantani tetap menawarkan relevansi dan implikasi penting bagi dunia pendidikan Islam di era modern dan globalisasi.

  • Kontribusi untuk Pendidikan Karakter (Akhlakul Karimah)

Di tengah arus globalisasi yang seringkali membawa dampak negatif berupa degradasi moral dan krisis etika, penekanan kuat Syekh Nawawi pada ta’dib dan pembinaan akhlakul karimah menjadi sangat relevan. Rincian panduannya mengenai adab bagi pendidik dan peserta didik (sebagaimana terurai dalam Tabel 2) menyediakan kerangka kerja konkret untuk membangun karakter di lingkungan sekolah maupun keluarga. Konsep ini dapat menjadi fondasi untuk mengatasi berbagai masalah sosial seperti kenakalan remaja, ketidaksopanan, dan hilangnya rasa hormat.  

  • Aktualisasi Integrasi Ilmu dan Amal

Pandangan Syekh Nawawi bahwa ilmu harus berbuah amal dan membawa pada kedekatan spiritual dengan Allah sangat penting untuk mengimbangi kecenderungan modern yang memandang ilmu sekadar sebagai alat untuk mencapai tujuan materialistik atau kekuasaan. Beliau mendorong pendidikan yang bertujuan untuk pengembangan manusia seutuhnya—secara intelektual, spiritual, etis, dan praktis. Relevansinya terletak pada upaya membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga matang secara spiritual dan bertanggung jawab secara sosial.  

  • Inspirasi Pendidikan Seumur Hidup

Dedikasi Syekh Nawawi sendiri dalam menuntut dan menyebarkan ilmu sepanjang hayatnya, serta penekanannya pada kewajiban belajar yang tak terbatas waktu , selaras dengan konsep pendidikan seumur hidup (lifelong learning) yang digaungkan di era modern. Ini menginspirasi bahwa proses belajar tidak berhenti setelah pendidikan formal, melainkan merupakan sebuah perjalanan berkelanjutan.  

  • Penguatan Moderasi Beragama (Wasathiyah)

Pendekatan Syekh Nawawi yang seimbang dan moderat—tercermin dalam upayanya menyeimbangkan dalil naqli (teks wahyu) dan ‘aqli (akal), serta mengintegrasikan Syariat dan Tasawuf —sangat relevan dengan upaya penguatan moderasi beragama (wasathiyah) saat ini. Sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i , ajaran beliau secara inheren menolak ekstremisme, baik dalam bentuk liberalisme yang berlebihan maupun tekstualisme yang kaku. Sikap moderat ini, yang juga mencakup toleransi terhadap perbedaan pandangan dan inovasi positif (bid’ah hasanah) , sangat krusial untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia.  

  • Analisis Kritis: Tantangan dan Peluang dalam Konteks Globalisasi

Menerapkan pemikiran Syekh Nawawi di era modern tentu tidak lepas dari tantangan dan memerlukan analisis kritis:

  • Peluang: Kerangka pendidikannya menawarkan fondasi yang kokoh untuk pendidikan berbasis nilai, pembentukan karakter yang kuat, dan pemeliharaan identitas Islam di tengah arus globalisasi. Penekanannya pada muqaddimaat dapat diperluas untuk mencakup penguasaan alat-alat modern (teknologi, bahasa global) yang diperlukan untuk mengakses dan menyebarkan ilmu di kancah internasional. Fokus pada ubudiyah memberikan kompas moral yang jelas dalam menghadapi kompleksitas zaman.
  • Tantangan/Kritik: Potensi ketidakseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum (‘sekuler’) yang diperlukan untuk daya saing global tetap menjadi perhatian. Diperlukan ijtihad (reinterpretasi dan pengembangan) untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip dasarnya dengan pendekatan pedagogi modern yang menekankan pemikiran kritis, kreativitas, kolaborasi, dan pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered learning), yang mungkin tampak kurang menonjol dalam model tradisionalnya. Jika diterapkan secara kaku, modelnya bisa terkesan terlalu berfokus pada transmisi tekstual dan kurang mendorong pembelajaran berbasis penemuan (inquiry-based learning).

Sikap moderat (wasathiyah) yang melekat dalam pemikiran Syekh Nawawi , yang berakar pada tradisi Sunni yang mapan (teologi Asy’ariyah/Maturidiyah, fiqh Syafi’i, tasawuf Ghazalian) , menjadi kunci relevansi dan adaptabilitasnya. Moderasi ini memberikan kerangka yang tahan terhadap ekstremisme dan memungkinkan dialog konstruktif dengan modernitas. Alih-alih menolak atau menerima modernitas secara total, pendekatan Syekh Nawawi memungkinkan integrasi dan adaptasi kritis yang dipandu oleh prinsip-prinsip Islam yang kokoh dan tujuan akhir mardatillah. Wasathiyah beliau dapat menjadi model pengembangan kurikulum Islam kontemporer yang otentik secara keislaman sekaligus relevan menjawab tantangan zaman.

Penutup

Pemikiran pendidikan Syekh Nawawi al-Bantani menawarkan sebuah paradigma yang kaya dan mendalam, berpusat pada tujuan luhur mencapai keridaan Allah (mardatillah) melalui pengembangan potensi manusia secara holistik. Konsep pendidikannya mengintegrasikan ta’lim (pengajaran), tarbiyah (pengasuhan), dan ta’dib (pembentukan akhlak) dalam satu kesatuan proses transfer dan transformasi. Kurikulumnya memprioritaskan ilmu-ilmu agama sebagai fondasi (fardhu ‘ain), didukung oleh ilmu-ilmu alat (muqaddimaat) seperti Bahasa Arab, tanpa menutup pintu bagi ilmu fardhu kifayah. Metode pengajarannya menekankan kejelasan bahasa, penyampaian bertahap, adaptasi dengan kemampuan siswa, dan yang terpenting, keteladanan guru. Puncak dari sistem pendidikannya adalah penekanan luar biasa pada adab atau etika, baik bagi pendidik maupun peserta didik, sebagai prasyarat mutlak keberkahan ilmu.

Warisan intelektual Syekh Nawawi dalam bidang pendidikan tetap relevan hingga kini. Di era modern yang penuh tantangan moral, penekanannya pada pendidikan karakter (akhlakul karimah) dan etika belajar-mengajar menawarkan solusi yang fundamental. Visinya tentang integrasi ilmu dan amal, serta semangat belajar sepanjang hayat, terus menginspirasi. Lebih dari itu, spirit moderasi (wasathiyah) yang terkandung dalam pemikirannya memberikan panduan berharga untuk membangun pendidikan Islam yang toleran, seimbang, dan mampu berdialog dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Tentu saja, aktualisasi pemikiran beliau di masa kini memerlukan adaptasi dan reinterpretasi yang bijaksana, agar prinsip-prinsip luhurnya dapat terintegrasi secara efektif dengan kebutuhan dan pendekatan pendidikan kontemporer, demi melahirkan generasi Muslim yang berilmu, beramal, berakhlak mulia, dan mampu berkontribusi positif bagi peradaban.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Daftar Pustaka, Referensi & Karya yang dikutip: >>